Pornografi Dan Sejarahnya

VIVAnews -- Pornografi sering
digambarkan sebagai penyakit
masyarakat masa kini, sebuah
bukti dari kemerosotan moral di
era modern.
Namun, eksistensi pornografi ada
jauh sebelum teknologi video
maupun foto.
Para ilmuwan berpendapat,
proses evolusi memang
membuat kecenderungan
manusia pada rangsangan visual.
Bagaimanapun pembagian
periodesasi sejarah,
keberagaman materi pornografi
secara historis menunjukkan
bahwa manusia akan selalu
tertarik pada gambaran seksual.
"Seks memainkan peran super-
penting dalam kehidupan
manusia dan pola relasi
mereka," kata Seth Prosterman,
ahli seksologi klinis dari San
Francisco, seperti dimuat situs
LiveScience.
"Apapun yang terkait atau
dilakukan manusia soal seks
selalu menimbulkan rasa ingin
tahu dan ketertarikan."
Representasi erotisme yang kali
pertama dikenal manusia --
meski mungkin tidak porno --
ada sejak 30.000 tahun lalu. Di
masa Paleolitikum, manusia
memahat ukiran buah dada
besar atau perempuan hamil
dari kayu atau batu.
Para arkeolog meragukan itu
adalah 'figur Venus' yang
berkaitan dengan seksualitas.
Diduga kuat, pahatan itu adalah
ikon religius atau simbol
kesuburan.
Kemudian, pada masa Yunani
dan Romawi kuno, sudah ada
patung-patung bertema
homoseksualitas, juga termasuk
patung-patung yang
menaggambarkan hubungan
seksual tak wajar.
Di India, pada abad ke-2
terbitlah buku panduan tentang
hubungan seksual yang tetap
tenar hingga saat ini, Kama
Sutra. Sementara masyarakat
kuno Perum Moche,
menorehkan imej seksual dalam
kerajinan keramik. Beda lagi
dengan kaum aristokrat Jepang
di abad ke-16. Mereka biasa
membaca bacaan erotis yang
ditulis di lembaran kayu tipis.
Di dunia Barat masa lalu,
beberapa material erotis lebih
bersifat politis, dari pada
pornografi. Demikian menurut
Joseph Slade, profesor di Ohio
University.
Di masa revolusi Perancis, kerap
dijumpai satir menyindir para
aristokrat dengan pamflet
seksual. "Lebih mengarah pada
caci maki politis yang
dikamuflasekan menjadi
pornografi," kata Slade.
Kelahiran pornografi
Gagasan porno mulai menyebar
pada tahun 1800-an. Namun,
Penerbitan novel erotis justru
lebih cepat, pada pertengahan
1600-an di Prancis.
Sementara, novel porno
berbahasa Inggris pertama
diketahui berjudul "Memoirs of a
Woman of Pleasure"
dipublikasikan pada 1748.
Teknologi menjadi pendorong
pornografi. Pada 1839, Louis
Daguerre menemukan
daguerreotype -- versi primitif
dari fotografi. Media ini juga
dimanfaatkan untuk pornografi.
Karya 'jorok' pertama
daguerreotype yang selamat dari
jamannya bertahun 1846.
Pornografi kemudian
memanfaatkan teknologi video.
Pada 1896, para pembuat film di
Prancis membuat klip bisu erotis
berjudul "Le Coucher de la
Marie."
Sementara versi pornografi yang
lebih keras 'hard core' mulai ada
setelah tahun 1900. "Versi itu
biasanya dipertunjukkan dalam
pertemuan laki-laki," kata Slade.
Dalam waktu yang lama, konten
dalam film porno relatif stagnan,
baik dalam isi maupun kualitas.
Perubahan terjadi pada tahun
1970-an -- saat kultur
masyarakat mulai membuka
ruang untuk film-film yang lebih
'eksplisit'.
Internet dan penemuan kamera
digital membuat pornografi
makin meraja lela. Makin mudah
untuk membuat film atau klip
porno. Dan banyak situs web
yang ditujukan khusus untuk
para pembuat film porno non-
profesional alias amatiran.
Pergeseran dari menonton
ramai-ramai ke individual --
dengan cara menyewa film atau
download video mengubah tipe
adegan yang ditampilkan di
layar.
Pada tahun 1994 Carnegie
Mellon meneliti soal pornografi
dalam komputer Bulletin Board
Systems -- pendahulu World
Wide Web (www). Ia
menemukan 48 persen konten
pornografi yang diunduh dari
komputer jauh dari 'seks
normal' -- melainkan kebrutalan,
incest, bahkan pedofilia.
Saat ini, pornografi makin
marak di internet, namun
seberapa besar industri
pornografi tak bisa diukur. Tak
ada catatan resmi.
Pada tahun 2007, menurut editor
senior Adult Video News, Mark
Kernes, penjualan ritel
pornografi mencapai US$ 6
miliar per tahun.
Namun, angka itu banyak
diperdebatkan. Sebab, angka itu
belum menghitung video amatir
yang diunggah ke internet.
Terlepas dari berapa banyak
uang yang dihasilkan, pornografi
memang menarik. Sebuah studi
yang dilakukan di AS pada 2008,
dengan responden 813
mahasiswa, menunjukkan 87
persen pria dan 31 persen
wanita adalah pengguna
pornografi.
Penelitian ini dipublikasikan
dalam Journal of Adolescent
Research.
Dampak pornografi
Apa akibat pornografi pada kita?
Ini pertanyaan kontroversial.
Sejumlah kritikus berpendapat,
persaingan dalam industri
pornografi meningkatkan
dominasi dan pelecehan
terhadap perempuan --
terutama untuk film yang
ditujukan untuk pria bukan
penyuka sesama jenis.
"Para pembuat pornografi selalu
merasa perlu untuk membuat
sesuatu yang baru, yang
menarik," kata Chyng Sun,
profesor telaah media pada New
York University.
Dengan menganalisis film porno
laris, Sun telah menemukan
bahwa agresi fisik dan verbal
hadir di 90 persen dari
mainstream adegan porno. Film
disutradarai oleh perempuan
kemungkinan mengandung
agresi dari pada film yang
disutradarai oleh laki-laki. Ia
menuliskan laporan ini dalam
jurnal Psychology of Women
Quarterly.
Sun mengatakan, gambaran
agresif ini berbahaya bagi
kehidupan seksual masyarakat
dan mengarah pada stereotip
negatif tentang perempuan.
Namun tak semua ahli setuju.
Seksolog dari San Francisco,
Prosteman berpendapat, para
peneliti gagal menarik hubungan
langsung antara pornografi dan
perilaku seksual kriminal.
Kata dia, pornografi adalah salah
satu cara bagi orang untuk
mengeksplorasi hasrat seksual
mereka sendiri.
Adu pendapat soal pornografi
bukan hanya di masa kini.
Perdebatan telah berlangsung
setidaknya sejak era Victoria. (hs)